Posted inWisata & Budaya

Petra Yordania: Keajaiban Dunia yang Hampir Terlupakan & Ditinggalkan

Petra Yordania Keajaiban Dunia yang Hampir Terlupakan & Ditinggalkan

Visual Nusantara Jika membahas Yordania atau Kerajaan Hasyimiyah Yordania, merujuk pada kerajaan yang berada di tepi barat sungai Yordan. Secara Geografis, Yordania berbatasan dengan Arab Saudi, Irak, Suriah, Israel dan Pelestina. Salah satu yang menarik dari negara ini yakni Petra Yordania sebagai 7 keajaiban dunia baru yang megah bahkan sampai saat ini. Terlihat seperti sebuah kota megah yang ditinggalkan penduduknya dan terkubur sampai akhirnya ditemukan lagi dan mulai dilakukan pemugaran.

Petra adalah salah satu situs arkeologi paling terkenal di dunia, terletak di Yordania selatan. Petra merupakan kota kuno yang dibangun oleh suku Nabatean sekitar abad ke-4 SM dan terkenal karena arsitektur megahnya yang dipahat langsung dari tebing batu pasir berwarna merah mawar, sehingga mendapat julukan sebagai Kota Mawar Merah.

Petra dulu menjadi pusat perdagangan penting, menghubungkan rute perdagangan antara Arabia, Mesir, dan Mediterania. Kota ini tersembunyi di antara pegunungan dan hanya bisa diakses melalui celah sempit yang dikenal sebagai Siq (bahasa Arab: السيق) (translated: the shaft), yang menambah aura mistisnya.

Pada tahun 1985, Petra diakui sebagai Situs Warisan Dunia UNESCO dan pada 2007 dinobatkan sebagai salah satu dari Tujuh Keajaiban Dunia Baru. Petra menggabungkan keindahan alam dengan karya manusia yang menakjubkan, menjadikannya situs bersejarah yang sangat penting dalam sejarah peradaban kuno. Petra terletak di Yordania selatan, di tengah-tengah pegunungan Shara yang berbatu dan gersang.

Situs ini tersembunyi di lembah Wadi Musa, sekitar 240 km sebelah selatan Amman, ibu kota Yordania, dan 120 km sebelah utara Aqaba, di dekat Laut Merah. Petra berada di lokasi strategis yang dahulu menghubungkan jalur perdagangan penting antara Timur Tengah, Afrika, dan Mediterania, menjadikannya pusat perdagangan vital pada zaman kuno.

Petra dianggap sebagai keajaiban dunia kuno karena keindahan dan keunikan arsitekturnya yang dipahat langsung dari batu karang mawar merah, serta teknik pembangunan yang luar biasa pada masanya. Kota ini memiliki bangunan megah seperti Al-Khazneh (The Treasury) dan Al-Deir (The Monastery) yang menunjukkan keterampilan teknik dan seni yang sangat maju.

Petra juga merupakan bukti peradaban Nabatean yang berhasil membangun sistem irigasi dan pengelolaan air yang rumit di tengah padang gurun, memungkinkan mereka untuk menciptakan kota yang makmur di lingkungan yang cukup keras. Keajaiban arkeologis dan sejarah Petra menjadikannya simbol pencapaian luar biasa peradaban kuno dan salah satu warisan budaya paling berharga di dunia.

Sejarah Awal Petra Yordania

Sejarah awal Petra Yordania dimulai sekitar abad ke-4 SM, sebelum menjadi pusat perdagangan penting. Awalnya, wilayah Petra dihuni oleh suku-suku lokal, tetapi tidak berkembang pesat sampai kedatangan bangsa Nabatean, suku nomaden Arab yang bermigrasi ke wilayah ini dari Jazirah Arab. Petra terletak di jalur strategis yang menghubungkan jalur perdagangan antara Arabia, Mesir, dan kawasan Mediterania.

Namun, sebelum bangsa Nabatean menjadikan Petra kota yang makmur, wilayah ini masih sederhana dan belum berfungsi sebagai pusat ekonomi atau politik yang signifikan. Suku Nabatean secara perlahan mulai menetap di wilayah ini dan mengembangkan kota Petra sebagai markas mereka. Bangsa Nabatean dikenal memiliki keahlian dalam manajemen air, sebuah keterampilan yang sangat diperlukan di wilayah gurun seperti Petra.

Mereka mengembangkan sistem irigasi yang canggih, termasuk bendungan, kanal, dan tangki air yang membantu mengumpulkan dan menyimpan air hujan. Kemampuan mereka dalam memanfaatkan air dengan efisien di wilayah yang kering memungkinkan untuk bertahan dan mengembangkan wilayah Petra menjadi tempat tinggal yang layak dihuni.

Petra merupakan tempat suku Nabatean berlindung dari ancaman eksternal, karena lokasinya yang tersembunyi dan terlindung oleh pegunungan. Wilayah ini memberikan perlindungan alami terhadap serangan dari musuh seperti Kerajaan Romawi dan Yunani. Sebelum berkembang menjadi pusat perdagangan, Petra adalah tempat tinggal bagi suku Nabatean yang mulai membangun fondasi arsitektur kota dan mengelola sumber daya dengan cermat.

Seiring waktu, kemampuan mereka untuk mengontrol jalur perdagangan regional dan mengumpulkan kekayaan dari perdagangan komoditas berharga seperti tekstil dan rempah-rempah seperti yang dilansir dari kompas.com. Hal ini mengubah Petra menjadi pusat perdagangan besar di dunia kuno. Namun, sejarah awal Petra menunjukkan bagaimana kota ini berkembang secara bertahap dari pemukiman sederhana menjadi pusat ekonomi dan budaya yang sangat penting di kawasan tersebut.

Suku Nabatean dan Cara Membangun Petra

Suku Nabatean adalah kelompok bangsa Arab kuno yang bermigrasi dari Jazirah Arab ke wilayah Yordania selatan pada sekitar abad ke-6 hingga ke-4 SM. Mereka awalnya hidup sebagai suku nomaden yang mengembara di wilayah gurun, mengandalkan perdagangan dan bertahan hidup di lingkungan yang keras. Nabatean kemudian menetap di Petra dan mengubahnya menjadi kota besar, makmur, dan strategis.

Keahlian yang dimiliki Suku Nabatean:

  • Penguasaan Jalur Perdagangan: Suku Nabatean dikenal sebagai pedagang ulung yang menguasai jalur perdagangan penting yang menghubungkan Semenanjung Arab dengan dunia Mediterania dan Timur Dekat. Mereka memonopoli perdagangan seperti rempah-rempah dan tekstil, sehingga memperoleh kekayaan. Petra, dengan lokasinya yang strategis, menjadi pusat persinggahan untuk para pedagang yang melintasi rute perdagangan antara Timur Tengah, Mesir dan Laut Mediterania.
  • Keahlian dalam Manajemen Air: Nabatean ahli dalam teknik pengelolaan air yang memungkinkan mereka untuk bertahan hidup di lingkungan gurun yang gersang. Mereka membangun sistem irigasi yang canggih termasuk kanal, bendungan dan tangki air untuk menangkap dan menyimpan air hujan. Sistem ini memainkan peran penting dalam menopang kehidupan di Petra dan menjadikannya kota yang layak huni meskipun berada di wilayah yang gersang.
  • Kemampuan Bertahan di Lingkungan Keras: Petra dikelilingi oleh pegunungan dan lembah-lembah yang memberikan perlindungan alami dari serangan musuh. Suku Nabatean memilih Petra karena lokasinya yang tersembunyi dan sulit diakses, membuat mereka lebih terlindungi dari ancaman eksternal seperti penaklukan oleh kekaisaran yang lebih besar.

Pemahatan Arsitektur di Batu: Salah satu ciri khas Petra yang paling mencolok adalah bangunan-bangunan monumental yang dipahat langsung dari tebing batu pasir. Nabatean menggunakan keahlian arsitektur dan teknik bangunan yang cukup canggih di zaman tersebut untuk menciptakan strukturmegah seperti Al-Khazneh (The Treasury) dan Al-Deir (The Monastery). Memahat langsung dari batu pegunungan dengan ketelitian dan keterampilan tinggi, menciptakan fasad-fasad rumit yang menjadi ikon Petra.

Pada puncak kejayaannya, Petra adalah salah satu kota paling makmur di wilayah tersebut, dengan suku Nabatean mengontrol sebagian besar perdagangan. Namun, seiring perubahan jalur perdagangan dan perluasan kekaisaran Romawi, kekuasaan Nabatean mulai menurun, dan pada akhirnya Petra pun ditinggalkan, meskipun warisan mereka tetap hidup melalui situs-situs bersejarah bahkan sampai saat ini.

Periode Kejayaan Petra Yordania

Petra mengalami perkembangan pesat sebagai pusat perdagangan pada abad ke-1 SM hingga abad ke-1 M. Kota ini menjadi pusat ekonomi penting yang menghubungkan jalur perdagangan antara Arabia, Mediterania, dan wilayah Timur Dekat. Keberhasilan Petra sebagai pusat perdagangan terutama dipicu oleh dua faktor utama: lokasi strategisnya dan keahlian suku Nabatean dalam mengelola perdagangan internasional.

Bangunan Monumental: Seiring dengan bertambahnya kekayaan dari perdagangan, suku Nabatean mulai membangun infrastruktur dan bangunan monumental simbol kekuasaan dan kemakmuran Petra. Salah satu yang paling terkenal adalah Al-Khazneh (The Treasury), yang diduga dibangun sebagai makam untuk salah satu raja Nabatean. Selain itu, bangunan-bangunan seperti Al-Deir (The Monastery), teater besar, dan berbagai makam yang dipahat dari tebing batu juga menjadi simbol kemakmuran kota ini.

Peran dalam Perdagangan Internasional: Petra tidak hanya menjadi pusat perdagangan bagi barang-barang lokal, tetapi juga untuk komoditas internasional dari selatan Arabia, serta barang-barang mewah dari Afrika dan India melewati Petra sebelum diteruskan ke pasar-pasar besar di Roma, Yunani, dan Mesir. Dengan memfasilitasi perdagangan barang-barang berharga ini, Petra menjadi salah satu pusat ekonomi terbesar di kawasan tersebut.

Keajaiban Arsitektur Petra

Al-Khazneh (The Treasury): Ikon Utama Petra dan Fungsinya

Al-Khazneh, atau “The Treasury,” adalah salah satu struktur paling ikonik di Petra dan sering menjadi simbol dari seluruh situs arkeologi ini. Fasade besar yang dipahat langsung dari tebing batu pasir merah ini menampilkan gaya arsitektur yang rumit dan elegan, dengan kolom Corinthian, patung, dan hiasan-hiasan yang sangat detail.

Meskipun namanya “The Treasury” menunjukkan bahwa bangunan ini mungkin digunakan untuk menyimpan harta, para arkeolog percaya bahwa fungsinya sebenarnya adalah sebagai makam kerajaan. Diperkirakan Al-Khazneh dibangun pada awal abad ke-1 M oleh suku Nabatean untuk salah satu raja mereka, mungkin Raja Aretas IV, sebagai tempat peristirahatan terakhir yang penuh kemegahan.

Al-Khazneh dalam sejarah Petra mencerminkan kemakmuran dan pengaruh suku Nabatean pada puncak kejayaan mereka. Gaya arsitektur yang terinspirasi dari Yunani-Romawi menunjukkan bagaimana Petra terhubung dengan dunia luar melalui perdagangan dan pertukaran budaya. Al-Khazneh juga menjadi saksi sejarah perkembangan kota ini sebagai pusat perdagangan dan kota penting di wilayah Timur Tengah kuno.

Al-Deir (The Monastery): Struktur Terbesar di Petra

Al-Deir, atau “The Monastery,” adalah struktur terbesar di Petra dan salah satu contoh terbaik dari skill arsitektur suku Nabatean. Sama seperti Al-Khazneh, Al-Deir dipahat langsung dari tebing batu pasir, tetapi ukurannya jauh lebih besar, dengan fasade yang mencapai tinggi sekitar 45 meter dan lebar 50 meter.

Meskipun dikenal sebagai “The Monastery,” seperti halnya Al-Khazneh, nama ini tidak mencerminkan fungsi asli bangunan tersebut. Para arkeolog percaya bahwa Al-Deir kemungkinan besar digunakan untuk upacara keagamaan, pertemuan, atau sebagai kuil untuk menyembah dewa-dewa suku Nabatean. Struktur monumental ini, yang berada di lokasi terpencil di atas bukit, menciptakan suasana yang sakral dan mengesankan.

Signifikansi Al-Deir dalam sejarah Petra menunjukkan keahlian teknik bangunan suku Nabatean dan komitmen mereka terhadap agama dan ritual. Bangunan ini juga merupakan simbol kebesaran Petra sebagai pusat spiritual, selain dari perannya sebagai pusat perdagangan.

Sistem Irigasi Canggih yang Menopang Kehidupan di Gurun

Salah satu keunggulan Petra yang memungkinkan kota ini berkembang pesat di lingkungan gurun adalah sistem irigasi yang dibangun oleh suku Nabatean. Petra terletak di daerah yang kering, namun Nabatean berhasil mengatasi tantangan lingkungan ini dengan membangun serangkaian kanal, bendungan, tangki, dan terowongan yang dirancang untuk menangkap dan menyimpan air hujan.

Sistem ini memungkinkan Nabatean untuk mengumpulkan air dari pegunungan di sekitar Petra dan mendistribusikannya ke seluruh kota, menyediakan air untuk penduduk, para pedagang, dan bahkan untuk pertanian. Dengan inovasi seperti tangki air besar dan kanal bawah tanah, Nabatean mampu mengelola pasokan air sepanjang tahun, bahkan selama musim kering.

Sistem irigasi ini sangat penting untuk menopang populasi besar dan memastikan Petra dapat berfungsi sebagai pusat perdagangan yang ramai di tengah gurun. Kemampuan suku Nabatean dalam pengelolaan air juga menjadi salah satu faktor utama kesuksesan kota ini dan memberikan contoh luar biasa dari adaptasi manusia terhadap lingkungan yang keras.

Masa Kehancuran Petra

Pada puncak kejayaannya, Petra adalah pusat perdagangan yang strategis, namun mulai mengalami penurunan setelah abad ke-1 M. Beberapa faktor penyebab ditinggalkannya Petra:

  • Perubahan Rute Dagang: Salah satu faktor utama adalah perubahan jalur perdagangan internasional. Pada abad ke-2 M, jalur perdagangan mulai bergeser dari jalur darat menuju jalur laut, terutama dengan meningkatnya penggunaan Laut Merah dan Teluk Persia.
  • Perkembangan pelayaran maritim menyebabkan para pedagang lebih memilih rute laut untuk menghindari kesulitan dan biaya perjalanan melalui jalur gurun yang panjang, seperti yang melewati Petra. Seiring waktu, Petra kehilangan perannya sebagai pusat transit.
  • Dominasi Kekaisaran Romawi: Setelah Petra dijajah oleh Kekaisaran Romawi pada tahun 106 M, pengaruh politik dan ekonomi Romawi mulai mempengaruhi peran Petra dalam perdagangan. Romawi membangun jalur perdagangan baru yang mengurangi ketergantungan pada kota-kota perdagangan di pedalaman seperti Petra. Romawi juga mendirikan pusat-pusat perdagangan alternatif di sepanjang pesisir Mediterania dan Laut Merah, yang memudahkan pengiriman langsung ke Eropa dan Mesir.
  • Perkembangan Kekaisaran Bizantium: Pada abad ke-4, Kekaisaran Bizantium, sebagai penerus Romawi di wilayah ini, semakin berfokus pada rute-rute perdagangan di sepanjang Laut Mediterania. Hal ini mengakibatkan penurunan dari Petra. Meskipun kota ini tetap menjadi bagian dari provinsi Romawi, statusnya sebagai pusat perdagangan utama terus menurun.
  • Persaingan dengan Kota-Kota Lain: Kota-kota baru yang muncul di wilayah Timur Tengah, seperti Palmyra dan Gerasa (Jerash), mulai bersaing dengan Petra sebagai pusat perdagangan. Kota-kota ini memiliki lokasi yang lebih dekat dengan rute perdagangan baru dan menjadi lebih penting dalam jaringan perdagangan Romawi.

Selain faktor-faktor ekonomi dan perubahan rute dagang, gempa bumi juga memainkan peran signifikan dalam kehancuran fisik Petra. Pada tahun 363 M, Petra dilanda gempa bumi besar yang menyebabkan kerusakan parah pada infrastruktur kota.

Gempa bumi tersebut menghancurkan banyak bangunan penting di Petra, termasuk bagian dari sistem irigasi yang sangat vital untuk kehidupan kota. Kanal-kanal dan tangki air yang menopang kehidupan di gurun rusak, membuat Petra semakin sulit untuk ditinggali. Kerusakan ini menyebabkan berkurangnya populasi dan berkurangnya kemampuan kota untuk mempertahankan penduduk dan pedagang.

Meskipun Petra tetap dihuni setelah gempa, kota ini tidak pernah sepenuhnya pulih dari kehancuran yang diakibatkan oleh bencana alam tersebut. Infrastruktur yang rusak dan berkurangnya penduduk mempercepat kemunduran kota sebagai pusat perdagangan yang penting.

Beberapa gempa bumi yang lebih kecil dilaporkan terjadi di wilayah tersebut pada abad-abad berikutnya, semakin memperburuk keadaan. Akibat gempa-gempa ini, Petra menjadi semakin terpencil dan ditinggalkan.

Setelah berabad-abad mengalami kemerosotan, Petra akhirnya terlupakan oleh dunia luar. Pada Abad Pertengahan, kota ini hampir sepenuhnya ditinggalkan dan hanya diketahui oleh suku-suku Badui lokal yang tinggal di wilayah tersebut. Namun, peradaban luar tidak lagi mengetahui keberadaan Petra hingga awal abad ke-19.

Penemuan Kembali oleh Johann Ludwig Burckhardt: Pada tahun 1812, Johann Ludwig Burckhardt, seorang penjelajah dan orientalis Swiss, menemukan kembali Petra setelah bertahun-tahun tertutup dari dunia luar. Burckhardt, yang menyamar sebagai seorang pedagang Arab, berhasil mendapatkan akses ke situs tersebut dengan bantuan pemandu lokal. Penemuan Burckhardt membuka mata dunia terhadap keberadaan situs arkeologi Petra yang megah.

Laporan Burckhardt tentang Petra memicu minat di kalangan arkeolog, sejarawan, dan penjelajah Eropa. Pada pertengahan abad ke-19, banyak ekspedisi arkeologi mulai dilakukan untuk mempelajari dan mendokumentasikan situs ini. Gambar-gambar awal dan catatan mengenai Petra mulai tersebar di kalangan ilmuwan dan masyarakat umum, memperkenalkan dunia pada kota kuno ini.

Baca: Taj Mahal India: Simbol Cinta Abadi & Keindahan Arsitektur Dunia

Pada abad ke-20, Petra semakin diakui sebagai salah satu situs arkeologi paling penting di dunia. Pada tahun 1985, UNESCO menetapkan Petra sebagai Situs Warisan Dunia, mengakui nilai sejarah, arkeologi, dan budayanya. Pada tahun 2007, Petra juga terpilih sebagai salah satu dari Tujuh Keajaiban Dunia Baru, semakin memperkuat statusnya sebagai salah satu situs paling berharga di dunia.

Kesimpulan

Petra, yang terletak di Yordania, adalah salah satu situs arkeologi paling signifikan di dunia. Kota ini awalnya didirikan oleh suku Nabatean pada abad ke-4 SM dan berkembang menjadi pusat perdagangan besar yang strategis. Petra menjadi pusat persimpangan jalur perdagangan penting yang menghubungkan Arab, Mesir, Suriah, dan Mediterania. Selain itu, kota ini terkenal karena arsitektur yang megah, termasuk Al-Khazneh (The Treasury) dan Al-Deir (The Monastery), yang dipahat langsung dari tebing batu pasir.

Baca: Colosseum Roma: Ikon Arsitektur dan Sejarah Kekaisaran Romawi

Kejayaan Petra sebagai pusat perdagangan mencapai puncaknya pada abad ke-1 SM hingga abad ke-1 M. Namun, perubahan rute perdagangan, dominasi Kekaisaran Romawi, dan bencana alam seperti gempa bumi menyebabkan kemunduran kota ini. Pada akhirnya, Petra terlupakan selama berabad-abad sebelum ditemukan kembali pada awal abad ke-19 oleh Johann Ludwig Burckhardt. Sejak saat itu, Petra diakui sebagai salah satu warisan dunia yang luar biasa, menyimpan bukti peradaban kuno dan teknologi inovatif yang digunakan untuk bertahan di lingkungan gurun yang keras.

Petra tetap relevan dalam konteks modern sebagai simbol warisan budaya dan arkeologi global karena beberapa alasan penting:

  • Keajaiban Arsitektur dan Teknik: Petra adalah contoh luar biasa dari keahlian arsitektur Nabatean yang unik, yang menggabungkan gaya arsitektur Yunani, Romawi, dan Timur Dekat. Kota ini mencerminkan kemampuan luar biasa manusia dalam menciptakan peradaban maju di lingkungan yang sulit, seperti gurun Yordania.
  • Peninggalan Sejarah Perdagangan Kuno: Sebagai pusat perdagangan penting, Petra adalah saksi bisu dari jaringan perdagangan besar yang menghubungkan berbagai peradaban di Timur Tengah dan sekitarnya. Ini memperkaya pemahaman kita tentang hubungan ekonomi dan budaya antara dunia kuno yang saling bergantung.
  • Simbol Keberlanjutan dan Inovasi: Sistem irigasi yang canggih yang dibangun oleh suku Nabatean untuk menopang kehidupan di Petra mencerminkan inovasi teknologi dalam pengelolaan sumber daya alam. Sistem ini menunjukkan kemampuan masyarakat kuno untuk beradaptasi dengan tantangan alam dan menciptakan kehidupan yang berkelanjutan di wilayah yang sulit.
  • Situs Warisan Dunia UNESCO: Penetapan Petra sebagai Situs Warisan Dunia oleh UNESCO pada tahun 1985, dan kemudian sebagai salah satu dari 7 Keajaiban Dunia Baru pada tahun 2007, menjadikan Petra simbol dari upaya global untuk melestarikan warisan budaya dunia. Petra menjadi pusat studi arkeologi dan sejarah, serta daya tarik wisata yang memikat jutaan pengunjung dari seluruh dunia.
  • Simbol Identitas Nasional dan Budaya: Petra adalah bagian dari identitas nasional Yordania dan menjadi simbol kebanggaan budaya bagi rakyatnya. Selain itu, kota ini juga menjadi inspirasi bagi seniman, sejarawan, dan ilmuwan di seluruh dunia, mencerminkan pentingnya situs ini dalam warisan budaya global.

Sebagai warisan dari peradaban kuno yang penuh inovasi, Petra Yordania terus menginspirasi dan menyatukan orang-orang dari berbagai latar belakang budaya, sekaligus menjadi simbol penting dalam menjaga keberlanjutan warisan sejarah manusia.

Waktu akan terus berjalan bahkan saat kita diam. Semuanya akan digilas dan terlupakan, namun yang kita tulis membuatnya tetap ada dan teringat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *