Posted inFilm / Film Indonesia

Teror Awal Kutukan Jawa Terkuak: Review Film Janur Ireng: Sewu Dino The Prequel

Teror Awal Kutukan Jawa Terkuak Review Film Janur Ireng Sewu Dino The Prequel

Visual Nusantara – Jagat horor Indonesia kembali memperluas semestanya lewat kehadiran Janur Ireng: Sewu Dino The Prequel, film yang menjadi kepingan penting dari Sewu Dino Universe.

Diproduksi oleh MD Pictures dan disutradarai Kimo Stamboel, film ini hadir sebagai penelusuran asal-usul teror yang selama ini hanya disinggung sekilas dalam Sewu Dino (2023). Alih-alih sekadar mengulang ketakutan lama, prekuel ini mencoba membongkar akar konflik, kutukan, serta perseteruan keluarga yang menjadi fondasi kisah horor tersebut.

Dirilis di penghujung 2025 dan tayang mulai 24 Desember, Janur Ireng mengambil latar waktu enam tahun sebelum peristiwa utama Sewu Dino. Pendekatan ini membuat film terasa lebih gelap dan personal, karena penonton diajak menyelami masa lalu yang penuh intrik, ambisi, dan ritual terlarang di balik keluarga-keluarga berkuasa di Tanah Jawa.

Sinopsis Janur Ireng: Ketika Darah dan Kutukan Tak Bisa Dipisahkan

Cerita berpusat pada Sabdo dan Intan, dua saudara yang sejak lahir dipercaya tak boleh disatukan. Keyakinan turun-temurun menyebutkan bahwa persatuan keduanya akan melahirkan kekuatan yang tak tertandingi, kekuatan yang mampu mengguncang keseimbangan manusia dan dunia gaib.

Kepercayaan ini bukan hanya membuat hidup mereka penuh batasan, tetapi juga menempatkan keduanya sebagai objek incaran.

Ancaman terbesar datang dari Arjo Kuncoro, paman mereka yang berasal dari keluarga terpandang. Di balik citra elegan dan pengaruhnya, Arjo menyimpan ambisi untuk menguasai kekuatan Sabdo dan Intan.

Dengan iming-iming perlindungan serta kemewahan, Arjo membawa keduanya ke rumah besar milik keluarga Kuncoro—sebuah tempat yang perlahan berubah menjadi pusat teror.

Awalnya, kehidupan Sabdo dan Intan tampak menjanjikan. Namun, ketenangan itu hanya ilusi. Gangguan gaib, tekanan psikologis, dan ritual misterius mulai menghantui hari-hari mereka. Sabdo dan Intan menyadari bahwa keberadaan mereka bukan untuk dilindungi, melainkan dikendalikan.

Di tengah keputusasaan, muncul satu nama yang terus bergema: Janur Ireng, santet paling mematikan dalam kepercayaan Jawa, yang diyakini menjadi satu-satunya jalan keluar—atau justru awal kehancuran yang lebih besar.

Pendalaman Semesta Sewu Dino

Salah satu kekuatan utama film ini terletak pada upayanya memperluas mitologi Sewu Dino Universe. Janur Ireng tidak hanya berfokus pada satu keluarga, tetapi juga memperkenalkan Trah Pitu, tujuh keluarga berpengaruh yang bersekutu dengan kekuatan iblis.

Hubungan rumit antara keluarga Atmojo dan Kuncoro, yang sebelumnya hanya menjadi latar konflik, kini dijabarkan secara lebih detail.

Pendekatan ini membuat cerita terasa lebih kompleks dan politis. Kutukan tidak lagi berdiri sebagai elemen horor semata, melainkan simbol kekuasaan, warisan, dan keserakahan yang diwariskan lintas generasi.

Film ini menegaskan bahwa teror terbesar bukan hanya datang dari makhluk tak kasatmata, tetapi dari manusia yang rela mengorbankan segalanya demi ambisi.

Akting dan Karakter: Wajah Baru, Nuansa Berbeda

Dari sisi akting, Janur Ireng menghadirkan kombinasi pemain lama dan wajah baru. Marthino Lio sebagai Sabdo tampil dengan intensitas emosi yang konsisten, sementara Ratu Rafa berhasil membawa karakter Intan sebagai sosok rapuh namun menyimpan potensi besar. Interaksi keduanya menjadi inti emosional film.

Tora Sudiro dan par pemeran Film Janur Ireng Sewu Dino The Prequel
Tora Sudiro dan par pemeran Film Janur Ireng Sewu Dino The Prequel

Sorotan tersendiri tertuju pada Tora Sudiro yang tampil jauh dari persona komedinya. Sebagai Arjo Kuncoro, Tora menghadirkan karakter dingin, penuh kendali, dan menekan secara psikologis.

Transformasi ini menjadi salah satu kejutan menarik dalam film. Sementara itu, kehadiran Karina Suwandi sebagai Mbah Karsa kembali memberi bobot mistis yang kuat, mempertegas atmosfer horor khas Jawa.

Atmosfer, Visual, dan Teror Psikologis

Secara visual, Kimo Stamboel tetap setia pada pendekatan horor atmosferik. Rumah besar keluarga Kuncoro digambarkan bukan sekadar latar, tetapi sebagai entitas hidup yang menyimpan rahasia kelam. Pencahayaan redup, ruang-ruang sempit, dan suara-suara lirih dimanfaatkan untuk membangun ketegangan perlahan.

Alih-alih mengandalkan jumpscare berlebihan, film ini lebih menekankan teror psikologis. Rasa tidak nyaman dibangun lewat tatapan, keheningan, dan simbol-simbol ritual Jawa yang terasa autentik. Penonton dipaksa bersabar, namun imbalannya adalah rasa ngeri yang menetap bahkan setelah film usai.

Janur Ireng: Sewu Dino The Prequel berhasil menjalankan fungsinya sebagai prekuel dengan solid. Film ini tidak hanya menjawab rasa penasaran penonton tentang asal-usul kutukan, tetapi juga memperkaya konflik dan karakter dalam semesta Sewu Dino.

Meski ritmenya cenderung lambat di beberapa bagian, pendalaman cerita dan atmosfer yang kuat membuatnya tetap menarik untuk diikuti.

Bagi penikmat horor yang menyukai kisah berlapis dengan latar budaya lokal, film ini menawarkan pengalaman yang mencekam sekaligus penuh makna. Janur Ireng membuktikan bahwa horor Indonesia tak hanya soal takut, tetapi juga tentang warisan gelap yang terus membayangi dari generasi ke generasi. (RM)

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *